Petualangan membawa saya kembali ke sebuah kawasan yang notabene adalah saksi kejayaan Oud Batavia yang kini masuk dalam bagian Jakarta Utara dan telah ditetapkan sebagai warisan Cagar Budaya oleh Ali Sadikin pada tahun 1972.
Perjalanan saya mulai dari Stasiun Serpong..
Saya berangkat pukul delapan pagi dari Kawasan Perumahan Dinas yang
saya tempati. Hanya berbekal seperlunya dan dalam kedaan belum mandi.
Karena rencana awal saya ingin mengunjungi Pasar Kwitang dan Pasar
Poncol, sehingga saya pikir tak perlulah mandi supaya tidak terlacak
oleh pencopet. Kereta listrik bergerak dari Stasiun Serpong saya menuju
Stasiun Tanah Abang, kemudian ganti kereta ke arah Stasiun Manggarai.
Tak lupa saya baca sms dari seorang kawan dengan jelas dan
berulang-ulang, “kereta sampai tanah abang terus manggarai bisa.
Nyambung naik transjakarta 2 kali, dr manggarai smp perempatan
matraman trus pindah ke transjakarta ke arah senen”. Berhubung
memang agak sulit untuk membaca peta dan mengingat jalan, saya
putuskan untuk berhenti di Manggarai saja dulu. Namun rencana berubah,
karena saya mendadak galau. Bingung menentukan tempat, antara Kwitang
atau Kota Tua. Saya memikirkan dengan berbagai pertimbangan, bila saya
nekat ke Kwitang maka bisa dipastikan tabungan akan semakin menipis.
Oke… saya pilih rute Manggarai – Gondangdia – Gambir – Juanda - Sawah
Besar - Mangga Besar - Jayakarta - Kota Tua.
Ada hal menarik yang saya temui dalam kereta api yang sedang bergerak
ini, pegangan tangannya berbentuk sebuah minuman botol dengan rasa teh
tarik. Favorit saya. Membuat kerongkongan ini merasakan dahaga yang
teramat sangat. Maklum.. jangankan sarapan, minum air pun saya belum
sempat. Hehehe…
-Stasiun BEOS, 10.00 WIB-
Akhirnya sampai juga saya di Stasiun BEOS. Dengan langkah penuh pasti
dan semangat menggebu dalam dada, saya menuju Kawasan Kota Tua.
Langkah saya sempat terhenti sejenak, saat sekelompok seniman jalan
mulai menggesek biolanya dan mendendangkan sebuah lagu klasik. Cuma
satu kata yang terlintas di otak besar, “wow”. Sembari memberi sedikit
bekal, saya manfaatkan waktu untuk mengambil gambar. Si seniman
tersenyum, ia beri ucapan terima kasih dalam bahasa tubuh yang saya
balas dengan acungan jempol. Saya takjub melihatnya. Meskipun hanya
menggelar ‘konser’ kecil dipinggir jalan, namun kualitasnya tidak jauh
berbeda dengan konser musik sungguhan. Suatu talenta yang mengagumkan.
-Kota Tua, 10.20 WIB-
Gedung megah yang pertama saya kunjungi adalah Museum Bank Mandiri.
Memang bukan yang pertama kali, namun tetap saja ada rasa takjub dan
sedikit merinding saat memasukinya. Entah mengapa rambut roma saya
sering berdiri di lokasi ini. Mungkin karena memang suasananya yang
mendukung, dan beberapa ruang dibiarkan terbengkalai dan gelap. Sehingga
membuat saya merasa seperti ada yang mengawasi. Terutama dalam toilet
dan lorong-lorong kecil. Meskipun demikian ilmu yang saya dapatkan
memang tidak sedikit, seperti asal mula mengapa mata uang disebut “duit”
oleh masyarakat indonesia, atau mengapa patung Hermes banyak terdapat
di Kawasan ini. Yah… semua bisa terjawab dengan mengelilingi gedung tua
bergaya Art Deco ini. Saya juga tertarik dengan foto seorang gadis belanda muda yang terpajang disalah satu diorama, yang kini saya jadikan profile picture di facebook. Entah siapa dia, tapi berhasil membuat saya terpesona oleh kecantikannya.
Dirasa cukup, saya kembali berjalan menuju tempat selanjutnya. Museum
Bank Indonesia. Museum ini adalah salah satu gedung bersejarah yang
paling saya kagumi setelah Museum Nasional. Beberapa barang-barang antik
dan langka saya jumpai disini, seperti gobog dari Kerajaan Majapahit
dan uang Ma yang berukuran kecil peninggalan Kerajaan mataram Kuna.
-Halaman Museum Sejarah Jakarta, 11.45 WIB-
Berhubung baru ingat bahwasanya saya belum menegak setetes air dan
menelan sesuap makanan pokok, saya tuju salah satu toko waralaba di
halaman yang luas ini. Toko kecil disamping sebuah gedung yang tak
terawat. Well.. rupanya harga barang yang dijajakan melangit. Tapi ya
sudahlah.. terlanjur sampai kasir.
-Museum Seni Rupa & Keramik, 12.00 WIB-
Wah.. rupanya sedang ada pameran kontemporer disini!. “The Second Jakarta Contemporary Ceramics Biennale”.
Tanpa pikir panjang segera saya masuki ruang pamer. Isinya? Jangan
ditanya.. semua yang ditampilkan adalah karya yang cerdas. Favorit saya
adalah “Conversation About Us” karya Bagus Pandega. Bagus
yang telah menghasilkan sebuah karya yang bagus. Sebuah perlengkapan
minum teh yang terbuat dari keramik berwarna putih berhasil ia sulap
menjadi sebuah “kotak” musik. Membuat kesan menjadi lebih romantis,
dramatis, dan.. tragis. Ah.. jempol sekali untuk Bagus. Tak kalah apik,
di depan pintu masuk para pengunjung disuguhkan sebuah diorama yang
bercerita tentang pasukan kera yang dipimpin oleh Hanuman melawan
Rahwana dengan judul “Kesetiaan dan Kesia-siaan Dalam Cinta”.
Dari ruang pamer, saya beranjak menuju sayap kiri bangunan. Memasuki
ruang museum. Disini saya bersua dengan mahakarya Basoeki Abdullah,
Antonio Blanco, dan Raden Saleh. ketika sedang dalam keheningan
menikmati kopian karya Raden Saleh, saya dibuat geram oleh pasangan
muda-mudi dimabuk asmara yang heboh bergaya, mengabadikan aktivitas
mereka lewat kamer. Gayanya macam-macam, mulai dari rangkulan hingga
cium tangan. Membuat saya muak saja. Yang ingin saya nikmati adalah
sempurnanya lukisan Raden Saleh, bukan adegan mereka berkasih..
Untungnya mereka sadar diri setelah saya berdeham dengan nada yang cukup
keras. Seharusnya alangkah lebih baik bila juga ditambahkan gambar
hati dicoret pada papan peringatan.
Lukisan yang membuat saya kepayang adalah “wanita” karya Lee Man Fong
dan sebuah lukisan karya Antonio Blanco. Membuat saya berdiam diri
dalam waktu yang cukup lama didepannya. Mengagumi tiap lekukan tubuh
serta guratan cat yang disajikan.. Terlihat bahwa Blanco dan Fong
melukis dengan hati. Penuh cinta. Sehingga apa yang tertuang dalam
kanvas sangatlah indah. Komposisi antara seni dan cinta sama rata.
Ketika saya mengagumi lukisan Blanco lagi-lagi sepasang muda-mudi sedang
asyik bercumbu dibawahnya. Berkomunikasi dengan bahasa yang sangat
manja yang membuat saya pusing. Entah apa yang ada dibenak mereka untuk
memadu kasih di Museum. Apakah mereka berharap bahwa cinta yang dijalin mampu abadi seperti apa yang dipajang didalamnya?.
Selain lukisan, beberapa tembikar dan patung tanah liat bisa dilihat
di gedung museum ini yang pada saat masa revolusi sempat menjadi
asrama. Bahkan saya menjumpai celengan dari masa Kerajaan Majapahit
yang memang benar-benar berbentuk celeng atau babi hutan.
-Kembali ke Halaman Museum Sejarah Jakarta, 13.00 WIB-
Masih ada waktu untuk mengunjungi Museum Sejarah Jakarta dan Museum Wayang, pikir saya.
Dirasa sedikit letih setelah mengitari Museum Sejarah dan Museum
Wayang, saya beristiharat sejanak di atas meriam raksasa yang berjajar
rapi dipinggir jalan sembari menikmati the dingin dan keripik kentang
rasa okonomiyaki. Baru beberapa kunyah, tiba-tiba seorang ibu paruh baya
bermata sipit menghampiri saya dengan sumpah serapah yang terlontar
dari mulutnya. Oh..tampaknya suami atau entah siapa tepat duduk
dibelakang saya. Semua mata menatap. Bisik-bisik mulai terdengar.
Bersahutan dengan pisuhan si wanita. Botol minum yang sedang berdiri
anteng didekat paha saya tak luput darinya, menjadi “senjata” untuk
memukuli si pria yang terlihat sudah sangat pasrah. “Apa lo, ANJING!!!!”
teriak si wanita dengan penekanan nada pada kata terakhir yang
terdengar penuh kemenangan, sementara sang pria hanya dapat tertunduk
lesu. Menghindari perkelahian, saya melangkah menjauh. Lebih baik
menyewa sepeda…
Bersepeda di area kota tua membuat saya merasa seperti seorang pegawai De Javasche Bank yang baru pulang dari tempat kerja.
-(masih) di Halaman Museum Sejarah Jakarta, 14.30 WIB-
Atraksi kuda lumping dimulai. Pesta rakyat di halaman kota tua ini
sangat riuh. Muda-mudi, orang tua, anak kecil memadati area sekitar
atraksi berlangsung. Saya duduk bersila paling depan, dengan tahu gejrot
di tangan kanan dan es selayang di tangan kiri. Nikmat sekali rasanya.
Benar-benar nyaman rasanya. Ditambah ini pertama kalinya saya lihat
kuda lumping secara live. Para pemain adalah satu kelompok seniman asli
Jawa Timur yang sengaja datang ke Jakarta sampai tahun baru 2013.
Terdiri dari lima orang pria dewasa, dua orang anak laki-laki, serta
lima orang wanita. Kian lama adegan yang disuguhkan kian menakutkan.
Bermain api dengan mulut, cambuk-cambukan, hingga makan beling. Cukup…
saya tak tahan melihatnya, ditambah rintikan air hujan mulai turun,
membuat saya segera bergegas meninggalkan keramaian.
-Stasiun Kampung Bandan, 16.00 WIB-
Bertemu lagi dengan Kampung Bandan, setelah diantar oleh Djoko Lelono
3 dari Stasiun BEOS. Senang sekali bisa melihat stasiun ini dalam
kondisi masih benderang, sebab saya dapat melihat lahan tergenang air yang terletak disisi kanan stasiun. Ada Typha, Acrostichum, Breynia, Pluchea
indica, Passiflora foetida, Cayratia trifolia, Alternanthera
philoxeroides, Ruellia tuberosa, Ipomoea aquatica, Mimosa invisa,
Muntingia calabura, Manihot esculenta, Musa, Cocos nucifera, beberapa
anggota dari famili Cyperaceae, serta beberapa jenis tumbuhan lainnya
yang tidak terlihat dengan jelas dari jarak pandang saya. Sayang...
baterai handphone yang saya gunakan sudah kehabisan energi,
sehingga tidak dapat mengambil foto. Lima belas menit kemudian, kereta
yang akan membawa saya ke Tanah Abang datang.
-Serpong, 23.11 WIB-
Masih tergambar jelas dibenak saya, kecantikan Oud Batavia. yang kian bertambah usia kian menarik dan abadi dalam kenangan. ah.. pesona si tua, selalu saja mampu menghanyutkan..