Hari ini hari jumat. Nothing special sih, hanya saja
untuk beberapa kawan mungkin 28 Desember 2012 merupakan tanggal yang
sudah lama dinanti. Usai mengantri jatah tahunan dari sebuah Instansi
Pemerintah di jl. Thamrin Jakarta, saya dan seorang kawan mampir sejenak
di sebuah pusat perbelanjaan barang elektronik terkenal di seantero Ibu
Kota. Sebut saja Bi Mangifera indica (silahkan diterka
sendiri, hehehe). Berhubung akses menuju Serpong dari kawasan ini
sedikit mengalami gangguan lalu lintas (gangguan yang umum terjadi),
kami memutuskan untuk menuju Serpong melalui jalur kereta api. dan tentu
saja, stasiun yang terdekat adalah Stasiun Jakarta Kota.
Sebenarnya saya sudah beberapa kali ke stasiun peninggalan Kolonial Belanda ini, namun baru hari saya menyadari keindahannya. Amat sangat cantik. Saya serasa berada di Oud Batavia, dengan stasiunnya yang megah di kala itu. Stasiun ini juga dikenal sebagai Stasiun Beos (Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij) atau Maskapai Kereta Api Batavia Timur. Dulu stasiun ini menghubungkan Batavia dengan Baccasi (Bagasasi), Buitenzorg, Bandoeng, Karavam, dan Bantam, serta daerah sekitarnya.
Stasiun yang dibangun pada tahun 1870 saya akui memang sangat luar biasa cantiknya. Bagai dipahat dengan sempurna. Bagian utama dari stasiun ini masih terlihat jelas, seperti lengkungan logam pada bagian atap, pagar besi disepanjang lobby tempat calon penumpang menunggu datangnya kereta, jam kuno, dan beberapa ornamen khas art deco lainnya. Rancangan F.J.L. Ghijsels ini mampu membuat saya berdecak kagum selama di stasiun, membuat orang-orang berpikir saya tak ubahnya seorang udik yang penuh keingintahuan. Saya sempat membayangkan bagian atap masih dihiasi mozaik kaca berwarna-warni, dengan lantai yang berlapiskan ubin cantik dengan paduan warna merah, gading, dan warna indah lainnya, dengan noni-noni belanda bergaun sutera cantik, membawa payung putih berhiaskan renda ditangannya, maupun noni Indie dengan gaya berpakaian khas-nya yang berjalan hilir mudik.
Saya serasa berpijak di ruang waktu. Tak lupa pula saya membayangkan beberapa sosok anak kecil belanda yang berlarian serta sosok-sosok kaku berdiri tegap penuh keangkuhan, berambut klimis, berkumis tebal dengan pipa cerutu diantara kedua bibirnya. Ah... indahnya, meski saya menyadari bahwa kaum pribumi mungkin tidak layak terlihat berdampingan dengan mereka saat itu. Terima kasih Tuhan, hari ini 2012, 67 tahun setelah bangsa pribumi berhasil merebut kembali tanah airnya. Jiwa raganya. Sehingga saya masih dapat berdiri terpaku ditempat ini.
Sebenarnya saya sudah beberapa kali ke stasiun peninggalan Kolonial Belanda ini, namun baru hari saya menyadari keindahannya. Amat sangat cantik. Saya serasa berada di Oud Batavia, dengan stasiunnya yang megah di kala itu. Stasiun ini juga dikenal sebagai Stasiun Beos (Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij) atau Maskapai Kereta Api Batavia Timur. Dulu stasiun ini menghubungkan Batavia dengan Baccasi (Bagasasi), Buitenzorg, Bandoeng, Karavam, dan Bantam, serta daerah sekitarnya.
Stasiun yang dibangun pada tahun 1870 saya akui memang sangat luar biasa cantiknya. Bagai dipahat dengan sempurna. Bagian utama dari stasiun ini masih terlihat jelas, seperti lengkungan logam pada bagian atap, pagar besi disepanjang lobby tempat calon penumpang menunggu datangnya kereta, jam kuno, dan beberapa ornamen khas art deco lainnya. Rancangan F.J.L. Ghijsels ini mampu membuat saya berdecak kagum selama di stasiun, membuat orang-orang berpikir saya tak ubahnya seorang udik yang penuh keingintahuan. Saya sempat membayangkan bagian atap masih dihiasi mozaik kaca berwarna-warni, dengan lantai yang berlapiskan ubin cantik dengan paduan warna merah, gading, dan warna indah lainnya, dengan noni-noni belanda bergaun sutera cantik, membawa payung putih berhiaskan renda ditangannya, maupun noni Indie dengan gaya berpakaian khas-nya yang berjalan hilir mudik.
Saya serasa berpijak di ruang waktu. Tak lupa pula saya membayangkan beberapa sosok anak kecil belanda yang berlarian serta sosok-sosok kaku berdiri tegap penuh keangkuhan, berambut klimis, berkumis tebal dengan pipa cerutu diantara kedua bibirnya. Ah... indahnya, meski saya menyadari bahwa kaum pribumi mungkin tidak layak terlihat berdampingan dengan mereka saat itu. Terima kasih Tuhan, hari ini 2012, 67 tahun setelah bangsa pribumi berhasil merebut kembali tanah airnya. Jiwa raganya. Sehingga saya masih dapat berdiri terpaku ditempat ini.
Suasana stasiun Beos tahun 1940
Perronoverkapping van het spoorwegstation te Batavia kota
Namun lamunan saya buyar saat, sekelompok pemulung jalanan
datang dari arah yang berlawanan. Terlihat jelas oleh kedua mata saya,
seorang wanita paruh baya berkulit hitam khas bakaran sinar UV, berambut
pendek tipis, berbaju lusuh bersama keempat orang anak berusia sekolah
dasar yang terlihat sangat bahagia. Sosok yang dipanggil "emak" oleh
keempat orang anak tersebut tertawa lepas tanpa tersirat kepedihan.
Tertawa terbahak-bahak dipinggir peron, diiringi canda tawa suara
anak-anak. Badannya yang tampak letih masih berusaha mengais sampah
plastik yang kiranya dapat dijangkau oleh tangan dan dibawanya pulang
sekedar untuk ditukarkan dengan beberapa lembar uang ribuan lusuh demi
membeli sebungkus nasi aking. Namun... bibirnya tidak terlihat lelah
untuk tersenyum. Jujur saya merasa iri dengan kebahagiaan yang mereka
rasakan. Andai saya dapat merasakannya juga. Tapi inilah adilnya hidup,
dimana kebahagiaan merupakan sesuatu yang tidak bisa dinilai oleh sebuah
materi. Kereta api yang saya naiki mulai bergerak, meninggalkan
kebahagiaan dibelakang saya, menuju jalan yang gelap dan kumuh.
Ternyata dari Stasiun Jakarta Kota kami harus transit terlebih dahulu di Stasiun Kampung Bandan. Yah.. lumayanlah... kami menunggu sekitar 30 menit. Sembari menunggu kereta tiba, kami membicarakan perjalanan. Dengan mata yang tetap awas mengamati sekitar, dan telinga yang harus tetap siaga mendengarkan suara pengumuman dari speaker stasiun. Berselang 20 menit kemudian, kereta yang akan membawa kami menuju Stasiun Tanah Abang datang.
Kereta yang kami tumpangi cukup nyaman, sekedar berAC ringan. Lumayanlah untuk memberi sedikit kesejukan bagi para pekerja kantoran Ibu Kota yang sudah bermandikan peluh. Sayangnya, begitu sampai di Tanah Abang badan saya sengaja didorong oleh sekelompok anak-anak muda tidak berpendidikan. Sial.. diafragma saya sempat terasa ngilu. Mentang-mentang badan saya kurus, mungkin saya dianggap seperti bungkusan barang. Rasa kesal berkecamuk di dada. dan apesnya lagi, kereta AC menuju Serpong yang akan kami naiki sudah jalan duluan, sehingga harus menunggu jadwal pemberangkatan selanjutnya. Untungnya sebuah kereta ekonomi datang. dan kosong. daripada menunggu jadwal selanjutnya 30 menit lagi, kami memutuskan untuk naik kereta kelas ekonomi.
Keadaan didalamnya jauh berbeda. Tanpa AC dan penerangan yang memadai. Hanya ada gerbong tak begitu besar, dengan kaca terbuka. Kereta bergerak tidak mulus, membuat saya harus berpengang pada besi yang terlihat berminyak dan licin. Entahlah sudah berapa milyar sel bakteri hidup dipermukaannya. Tapi.. sudahlah saya berusaha menikmati perjalanan petang ini. Di dalam gerbong ternyata saya disuguhkan banyak hal-hal yang menarik perhatian, mulai dari penumpang yang ada hingga naik hingga aktivitas ekonomi dalam gerbong. Para penjaja makanan ringan, minuman bersoda dingin, koran sisa tadi pagi yang tak habis dijual, pengemis gerbong, penjual peniti, kelontongan, hingga tambalan panci membuat suasana menjadi kian menarik dan ramai. Tak lupa lagu dangdut turut menemani perjalanan ini, dibawakan oleh biduanita gerbong bersuara merdu namun bermata buta. Mungkin saja semasa kecil wanita ini bercita-cita menjadi seorang penyanyi dangdut populer papan atas, meski dalam kenyataan hidup berakhir sebagai penyanyi gerbong kereta kelas ekonomi. Sementara itu seorang wanita muda berdempul putih dan bergincu merah berdiri cemas dipojok gerbong, entah apa yang ia cemaskan. Saya tidak peduli.
Ternyata dari Stasiun Jakarta Kota kami harus transit terlebih dahulu di Stasiun Kampung Bandan. Yah.. lumayanlah... kami menunggu sekitar 30 menit. Sembari menunggu kereta tiba, kami membicarakan perjalanan. Dengan mata yang tetap awas mengamati sekitar, dan telinga yang harus tetap siaga mendengarkan suara pengumuman dari speaker stasiun. Berselang 20 menit kemudian, kereta yang akan membawa kami menuju Stasiun Tanah Abang datang.
Kereta yang kami tumpangi cukup nyaman, sekedar berAC ringan. Lumayanlah untuk memberi sedikit kesejukan bagi para pekerja kantoran Ibu Kota yang sudah bermandikan peluh. Sayangnya, begitu sampai di Tanah Abang badan saya sengaja didorong oleh sekelompok anak-anak muda tidak berpendidikan. Sial.. diafragma saya sempat terasa ngilu. Mentang-mentang badan saya kurus, mungkin saya dianggap seperti bungkusan barang. Rasa kesal berkecamuk di dada. dan apesnya lagi, kereta AC menuju Serpong yang akan kami naiki sudah jalan duluan, sehingga harus menunggu jadwal pemberangkatan selanjutnya. Untungnya sebuah kereta ekonomi datang. dan kosong. daripada menunggu jadwal selanjutnya 30 menit lagi, kami memutuskan untuk naik kereta kelas ekonomi.
Keadaan didalamnya jauh berbeda. Tanpa AC dan penerangan yang memadai. Hanya ada gerbong tak begitu besar, dengan kaca terbuka. Kereta bergerak tidak mulus, membuat saya harus berpengang pada besi yang terlihat berminyak dan licin. Entahlah sudah berapa milyar sel bakteri hidup dipermukaannya. Tapi.. sudahlah saya berusaha menikmati perjalanan petang ini. Di dalam gerbong ternyata saya disuguhkan banyak hal-hal yang menarik perhatian, mulai dari penumpang yang ada hingga naik hingga aktivitas ekonomi dalam gerbong. Para penjaja makanan ringan, minuman bersoda dingin, koran sisa tadi pagi yang tak habis dijual, pengemis gerbong, penjual peniti, kelontongan, hingga tambalan panci membuat suasana menjadi kian menarik dan ramai. Tak lupa lagu dangdut turut menemani perjalanan ini, dibawakan oleh biduanita gerbong bersuara merdu namun bermata buta. Mungkin saja semasa kecil wanita ini bercita-cita menjadi seorang penyanyi dangdut populer papan atas, meski dalam kenyataan hidup berakhir sebagai penyanyi gerbong kereta kelas ekonomi. Sementara itu seorang wanita muda berdempul putih dan bergincu merah berdiri cemas dipojok gerbong, entah apa yang ia cemaskan. Saya tidak peduli.
Saat perjalanan pulang di Serpong, saya masih menyesali mengapa tadi
tidak beli saja tambalan panci. Karena saya dibuat penasaran olehnya.
Lebih baik dibeli daripada sekedar menerka-nerka kira-kira bagaimana
bentuknya di balik bungkusan :(.
Inilah sedikit cerita perjalan saya di penghujung tahun 2012 :)
Semoga berkenan...
xoxo
No comments:
Post a Comment